perancis

Kucing liar dan Pertemanan

 

Di rumah kost yang saya tinggali ini, kami, para penghuni, tidak dibenarkan memelihara hewan peliharaan, sejinak apapun si hewan peliharaan itu. Entah kalau hewan peliharaan itu hidupnya di kandang, seperti burung misalnya, kemungkinan besar diperbolehkan.

Nah, karena para penghuni kost saat menyewa kamar mereka masing-masing tidak pernah mempertanyakan klasifikasi hewan peliharaan yang diperbolehkan versus yang dilarang, jadilah para pencinta hewan terpaksa harus menahan keinginannya kuat-kuat.

Hingga tibalah suatu hari, ketika si Perancis masih menjadi penghuni lantai dua, mendadak memiliki ide cemerlang, memberi makan kucing liar yang berkeliaran di halaman rumah.

Saya masih ingat, si Perancis bahkan selalu membeli potongan daging ayam yang sudah di’fillet’ untuk si kucing liar.

Bukan hal asing bagi saya, setiap pulang kantor di malam hari, berpapasan dengan si Perancis yang sibuk memberi makan si kucing liar.  Dan lucunya, kucing liar yang diberi makan pun selalu kucing liar yang sama.

Kebiasaan si Perancis rupanya awal dari kisah-kisah pertemanan penghuni kost dengan kucing liar yang entah kenapa dalam 1 tahun terakhir ini menjadi bertambah banyak.

Sesudah si Perancis pergi entah kemana, di suatu sore, ketika saya sedang bersusah-payah membuka pintu masuk yang lumayan berat, tiba-tiba sudut mata saya menangkap peristiwa yang tidak biasa.

Tepat di sudut kiri ruangan tamu lantai 1, satu-satunya anak kecil penghuni rumah kost sedang sibuk mengamati kardus di depannya. Saya yang selalu didera rasa penasaran, langsung melongok isi kardus, dan betapa terkejutnya saya mendapati si induk kucing dengan lima anak kucing yang masih mungil-mungil. Dan kali ini bukan si Perancis yang sibuk dengan kucing liarnya, tetapi si anak kecil tadi yang sibuk dengan susu ultra untuk si kucing.

Hari-hari selanjutnya, saya punya aktifitas baru, mengamati si anak kucing yang baru lahir bersama si anak kecil tetangga saya.

Hingga suatu sore, si kardus menghilang. Ketika saya bertanya ke si pengurus rumah tangga, katanya,’Oh kucingnya saya titip di rumah sebelah Bu, soalnya tadi yang punya rumah kesini dan katanya tidak boleh ada kucing di dalam rumah.’

Rasanya saat itu ada yang  hilang dan sejak itu saya berjanji untuk tidak lagi mempedulikan kucing-kucing liar yang ada di halaman.

Tapi Tuhan rupanya berkehendak lain, di suatu hari, ada dua penghuni baru di lantai 1. Sepasang suami-istri yang sudah berumur. Si suami bekerja tidak jauh dari rumah kost, dan sang istri memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Dan penghuni kedua, seorang wanita muda.

Semula semua berjalan normal, hingga suatu pagi, mendadak ada pemandangan baru yang tidak asing lagi bagi saya, para kucing berkumpul menunggu pembagian makanan.

Tebak, siapa si pemberi makanan? Siapa lagi kalau bukan si Ibu sepuh tadi. Bahkan sang Ibu itu jauh lebih telaten dari si Perancis. Setiap pagi si Ibu selalu membeli ikan di abang tukang sayur,  khusus untuk para kucing liar. Ibu sepuh ini sangat telaten mencacah ikan mentah tadi, mencampurnya dengan nasi, sebelum membagi nasi itu sesuai dengan jumlah kucing yang ada.

Tetapi bukan itu saja yang membuat saya terkagum-kagum, si penghuni kedua, si wanita muda tadi, rupanya mempunyai kecintaan yang sama terhadap kucing. Kecintaan terhadap hewan yang sama, rupanya mempererat pertemanan mereka.

Jika si Ibu Sepuh sedang kembali ke Bandung, dengan senang hati si Mbak Mega -begitu ia menyebutkan namanya ketika saya sedang takjub melihat perkembangan para kucing liarnya- menggantikan tugas si Ibu Sepuh membagikan makanan barisan kucing liar yang beranak-pinak itu.

Bahkan pertemanan si Ibu Sepuh dan Mbak Mega itu, juga menular ke barisan kucing peliharaan mereka. Pertemanan sesama kucing liar juga semakin erat. Mereka bahkan seperti punya peraturan sendiri, siapa yang boleh masuk, siapa yang cukup duduk di depan pintu, dan siapa yang jadi si bandel – berkeliaran mengaduk-aduk tempat sampah di lantai 2.

Saya yang semula menebalkan hati agar tidak terusik dengan permintaan mengiba si kucing, akhirnya tertular kebiasaan si Ibu Sepuh dan Mbak Mega. Tidak seekstrim mereka, tetapi cukup membuat putri saya kesal, karena setiap kali berbelanja ke supermarket, ada tambahan makanan kucing di tas belanja saya.